Rabu, 10 Desember 2008

Bukan Dedagingnya, Bukan Dedarahnya

Tidak akan sampai pada ridlo Rabbmu, dedagingnya, juga bukan pula dedarahnya, tetapi tetaqwamu..al ayat (maknanya.."nerusno sopo siro ing ikilah ayat kasebat"..kalau dalam bahasa Indonesia dikode "dst" atau "etc"..ini penting, karena orang mengira pembubuhan "al ayat" berarti "ini ayat Qur'an" bahkan parahnya "ini bukti dalili").

Ya..sulit juga bicara taqwa. Apakah taqwa itu objektifitas, ataukah subjektifitas pelaku atau malah subjektifitas Tuhan. Betapa repotnya meneraca taqwa. Sama repotnya ketika 'Aicha Radliallohu 'anha dikonfirm tentang akhlak Baginda Nabi, " bagaimanakah akhlak Nabi itu?" Aicha bingung, tapi harus menjawab, maka dijawablah "Akhlak Nabi itu ya Al Qur'an itu? Lha bagaimana menjawabnya. Satu sisi Aicha ra.h adalah bagian dari pelaku keakhlakan Nabina, satu sisi juga sebagai penerima akhlak itu.

Coba saja di tanyakan kepada Aicha ra.h, "bagaimana ketaqwaan Nabina?" Mungkin beliau juga akan bilang "ketaqwaan Nabina adalah Al Quran".


Ya baiklah kita bicara objektif, tetapi ini berarti juga mengikis subjektifitas yang secara objektif menjadi hak psikologis siapapun. Saya jadi ingat tes Rho, apapun jawaban testee di hadapan tester yang sudah membangun report maksimal adalah benar, sedang kesalahan terjadi karena tester tidak cermat menelaah jawaban testee. Lha jadi repot. Masak Alloh sebagai Robb, Penguji sekaligus Tester akan salah menganalisa ketaqwaan kita sebagai testee..tentu tidak. Dengan demikian maka semua subjektifitas Alloh menjadi objektif karenanya.

Lalu bagaimana, wong wedus dan sapinya sudah terlanjur disembelih dalam ritual tahunan ini. Mengapa hanya wedus, jarang sekali yang gibas..jangan-jangan karena daging wedus lebih enak dan lebih kenyal dagingnya, sekali lagi dagingnya. Mengapa tidak ada yang korban kerbau, jangan-jangan karena daging kerbau lebih berbau apek dari pada daging sapi, ya..sekali lagi dagingnya. Mengapa tidak disembelih saja di rph (rumah potong hewan) yang jelas profesional, tidak ada yang ngrikiti kebuk atau berebut lulur, seperti kebiasaan Pak Jel dan Pak Bas di masjid Phalamanis. Ya..karena situasinya beda..sekali lagi situasinya beda. Tapi bukankah perasaan bahwa daging wedus lebih enak dari daging gibas, juga kerbau lebih apek dari sapi adalah subjektifitas manusia. Apakah Robb membau?


Mungkin ada yang menjawab "bukankah memberi harus yang terbaik". Lalu, bukankah memberi sebaiknya merata, sehingga semua koman, tidak antre dan berebut. Bukankah gibas dan kerbau lebih murah sehingga secara kuantitas bisa lebih banyak dan akhirnya bisa merata...ah logika saya sendir juga masih mengukur persoalan ritual dan kuantitas perdagingan. Lalu bagaimana taqwa dalam kasus perkurbanan?..ha..ya sudah saya tak cerita saja, siapa tahu di sini kita bisa menemukan taqwa yang dimaksud.


KHOTBAH DI SMA YP Kotamadya

Saya ini ya embuh. Apa saya ini garis keras kok sering diundang khotbah di masjid-masjid basis FPI. Tapi saya ini ketua kajian tentang Tan Malaka bersama aktifis LSM Sitas Desa yang banyak didanai orang-orang gereja. Apa saya ini modis kok kemarin didaulat khutbah Aidil Adha di aula SMA YP Kotamadya, padahal menurut isyue di situ banyak pelaku kejahatan sexual (baca: perex). Memang anaknya lumayan kendel-kendel.

Rencana sholat di halaman, eh ternyata hujan, akhirnya pindah ke aula, padahal semua siswa telah hadir sejak jam 6. Apakah semangat tanpa pandang bulu ini yang disebut takwa? Padahal yang kukenal dari mereka adalah para dara penggoda di kotaku. Tawa mereka yang renyah-renyah, begitu menjadi tangis ketika kubaca sepotong do'a, yang saya terjemahkan dari Dalailul Khairot, tembang pagi yang selalu kunyayikan.

Kemudian saya sisir suasana kota dan pinggirannya, di tengah hujan yang semenjak malam takbir, lapangan-lapangan tempat sholat pada sepi, demikian pula masjid-masjid. Eh..malah di kampus sekolah yang terkenal miring, tumplek blek semua datang. Semangatnya.. Apakah semangat ini yang disebut taqwa. Tentu saja tanpa diduga, saya juga kena sangu 150 ribu, maksud saya yang saya duga 300 ribu, ha..ha.

Kurban dari Pak Marlan dan Orang-orang Ndesa.

Di tengah desa, di mana dukuh Phalamanis diabadikan, seorang guru desa yang rajin, tiap hari sehabis mengajar, beliau ngarit di pinggiran desa. Anaknya tiga perempuan semua, yang ku kenal tercantik bernama Niken.

Orang dan juga teman-temannya pada heran, apa kurang gajinya, apalagi anak-anaknya sedah pada mentas.
Semuanya juga sudah pada umrah, kalau haji belum. Apa golongannya rendah? Oh tidak, wong beliau juga telah lolos akreditasi, menurut SBY gajinya bisa dobel. Ya..adalah pak Marlan, dan tiap tahun selalu mengeluarkan hewan qurban dari semua, dua-tiga ekor kambing yang dipakani sendiri dengan tangannya. Padahal para Bupati sampai Presiden, membeli dengan APBN dan APBD, saya berani sumpah.

Apakah ini yang disebut taqwa : Perencanaan komprehensif atas suatu ibadah mahdhoh (kurban) dengan implikasi stabilitasi dan istiqomah dalam ibadah ghoiru mahdhoh (ngarit) tanpa komunikasi publik.

Bagaimana kurban dari SBY-JK, wong dia cukup telpon ajudan, atau bahkan ujug -ujug ajudan "memerintahkan" memegang tali kekang, difoto para wartawan, tanpa rencana yang berlama-lama, bahkan tidak memahdhohkan juga tidak menonmahdhohkan, lebih-lebih diikuti wartawan dan semua stasiun televisi.. wallahu a'lam.

Apakah ini taqwa, yang berbaris, berlemparan nafas, untuk satu potong nishab, oh untuk perut anaknya. Kompor gas dan tabung 3 kiloan ada, tetapi yang ditanak hanya kerikil dan batu, dengan lawuh sampah restoran. Kompor gas ada, tetapi dalam rumah seukuran pagupon, dan ketiga meledak, kebodohan kami yang disalahkan. Kompor gas ada, tapi air yang dimasak dari sari-sari comberan, dan ketika sakit perut kami digusur dari tepian kali.

Alhamdulillah, telah mendapat hadiah kompor gas dan tabung 3 kiloan, sehingga hari ini, telah ditanak nasi dan digoreng daging kambing dan sapi. Semoga setiap hari kami makmur dan daging-daging yang terdistribusi, menembus pintu-Mu bersama ketaqwaan subjektifitas kami.