Minggu, 21 Desember 2008

Penanti Cinta (Hari Ibu 1)

Syahdan di tahun itu, tahun 1928-an, ketika revolusi yang tidak disetujui Tan Malaka itu berlangsung. Pemberontakan yang tidak bulat, emosionalisasi kesejarahan dan semangat kesantrian-kebangsaan. Menyentuh pula jiwa Syech Mohammad Imam, mbah Bestuer yang bersahaja, Sang Kyai ndeso.

Dari padukuhan yang sekarang bernama Phalamanis, dari ndalem agung Phalamanis, beliau dikepung dan diseret di halaman, tersentuhi guguran kembang Tanjung lanang. Pasir hitam-besi menempel ke seluruh jidat, dan lars sepatu para pengkhianat meremuk citra wibawa.

Pagi itu, segenap santri berdiri, menggelar tikar untuk jalan Kyai Bestir meninggalkan tlatah bumi juang. Dari gerbang yang berhias naga kembar, atas perintah Van der Plas, asisten residen di Blitar. Kyai Bestir kini telah menjadi tawanan.

Nyai Khadithe, istrinya yang pelak setia, meronta, karena bukan hanya suaminya, juga semua putra, putra menantu kini tidak dalam rengkuh cintanya. Juga para khadam, lurah pondok dan santri senior lainnya. Ya, kini Nyai Khadithe telah menjadi wanita yang sendiri. Grontol-grontol yang ditanak sedari shubuh, juga lemet yang sedang dikukus. Oh..untuk siapa cinta ini kan dibumikan.

Belum lagi gelayut jiwa memikirkan sang suami yang sudah mulai renta, nasibnya di kemudian hari. Siapa yang harus memetik kelapa, untuk dibuat santan dan klentik, atau membantu epek pokat dan sawo manilo. Dukuh Phalamanis telah menjadi bagai kampung para janda. 27 lelaki telah menjadi bagian dari perintisan menuju Indonesiaa Merdeka.

Hari-hari yang lalu, sejak 1880 hingga hari itu, telah dilalui dengan suka ria. Kejelitaan raga dan jiwa putri Kyai Komaruddin itu, telah ia nazarkan dan wakafkan untuk seorang lelaki kabur kanginan, duda dari Mentaram, seorang santri yang tidak bisa kasab. Ketegasan putri yang lahir dari rahim suci mantan selir mentaram, yang melarikan diri ke Jatinom, telah meranumkan hari-hari bersama sang Kyai. Juga pengalaman tinggal di Selopuro, mendirikan Mesjid Kidul dan putra-putri yang tumbuh dalam format demokrasi.

Hari-hari kini, kesendirian menjuntai dari balik belukar menjalin (rotan) hingga nggandok kulon. Ya..biasanya di kursi goyang dekat jendela ini, ia melantumkan surah Yasin bersama suaminya sehabis Maghrib dan Subuh. Tapi kini yang tertinggal Topi Merah Ottoman di atas dampar kamar salatan. Meski aroma Duren Bajul menyerbu seluruh ruangan, hati Sang Nyai tetap penat dirundung duka. Kini yang akan datang adalah penantian, dan kinarya jaga untuk lelaki yang dicintai.
Bukan, bukan karena Sang Kyai tampan berbody atletis. Bukan, bukan karena Sang Kyai hendak datang mempersembahkan emas berkilauan. Bukan, bukan karena meninggu citra wibawa yang dikawal ajudan dengan aneka wewarna surjan dan payung putar. Tapi Sang Kyai telah mengajarkan kenikmatan mereguk penderitaan. Tapi karena Sang Kyai telah mengajikan pengenalan terhadap Sang Esa, Pengenalan terhadap jalan ke satuan dan penyatuan kepada Yang Satu ( Wahidiyah, Ahadiah. Wahdah..teoriti Thariqat Akmaliyyah). Tapi karena Sang Kyai telah mengalirkan cita merdeka melalui bathok-bathok tirakatan. Sang Kyai telah mengajarkan nazar suci "tidak kan berhenti menderita sampai Indonhesia Merdeka".

Ada sekedar kabar, bahwa Sang Kyai diasingkan di Banda Neira, sementara putra-putra yang lain termasuk para menantu diasingkan berpencar di seluruh Jawa. Si Sapuan di penjara Kalisosok, si Purnomo di Bandung dan lainnya di Nusakambangan dan Pulau Buru. Ya..inilah revolusi, inilah Menuju Indonesia Merdeka, inilah perintisan kemerdekaan, inilah genggam cinta, inilah padusan madu mengabdi suami.

Musim kembang kopi telah berulang kali terjadi sejak penggeropyokan itu. Dan pring jabal telah berdapur-dapur menjuntai di deras kali Mberut. Demikian pula woh Rau telah lama tak diluru para santri, juga Rukem dan Nam-nam. Wader dan Cetul telah pula berpinak jutaan serta wiji Mundung menyapar belasan musim.

Pagi yang indah yang akan dilumuri fla kerinduan dan cinta akan datang. Gerik dokar yang berhenti tertahan bancik dekat pampang. Sang Kyai telah datang setelah hampir 11 tahun diasingkan. Bersama si Sapuan yang menjemputnya ke Banda Neira setahun yang lalu. Anak-anak kecil, Basuni, Nasir dan Jabur berjingkrak ria, dan Si Mangil berlarian lalu jatuh gabrus tersangkut akar ringin. Para wanita juga berbanjar, Si Rus dan Si Ar telah lama berdiri di bawah Klopo Gading, tampak pula Alwani yang tangannya berlumuran glepung, lari meninggalkan luweng. Ya..Suami dan ayah telah datang. Tapi sayang, para santri yang membubarkan diri beberapa waktu setelah penggeropyokan, belum ada yang mendengar kabar kedatangan Sang Kyai.

Tapi ada satu wajah yang belum pernah dikenal. Wajah itu tak dihiraukan oleh semua yang tampak dalam penyambutan karena tenggelam oleh kebungahan yang meluap ragam, kecuali Sang Nyai yang terus mengguratkan pertanyaan.

Wajah perempuan cantik seumur Sang Nyai, yang kelihatan dipoles oleh budaya internasional yang baik. Ia turun dari dokar sambil menjinjing biola. Wajahnya sedikit seperti orang Arab..kulitnya lebih hitam dari orang ningrat Jawa, tapi bicaranya kebelanda-belandaan. Kalung dan gelang emasnya kemrenteng di leher dan tangan kanan-kirinya.

"Ini Karsinah, Nyai. Yang momong Sapuan di Banda" Kata Sang Kyai seakan menjawab tanya isterinya. (bersambung)

Tidak ada komentar: